Keingintahuan masyarakat terhadap sesuatu yang dianggap menarik bahkan janggal merupakan suatu fenomena yang sering terjadi dalam masyarakat Indonesia. Salah satu kejadian yang akan dibahas saya kali ini adalah terdamparnya dua spesies penghuni samudera, yaitu paus sperm (Physeter macrochepalus) dan hiu paus (Rhincodon typus), di dua tempat yang berbeda. Kejadian pertama adalah terdamparnya paus hitam pada akhir bulan juli kemarin di kawasan Tanjung Pakis, Karawang. Kejadian ini sontak menjadi sesuatu yang menarik bagi masyarakat sekitar, bahkan dari luar daerah, yang datang ke lokasi terdamparnya satwa tersebut. Mereka sangat antusias untuk sekadar melihat langsung besarnya satwa tersebut. Walaupun tergolong terdampar, namun untungnya satwa ini masih berada dalam perairan dangkal sehingga kondisinya tidak terlalu parah.
Beberapa jam setelah kejadian itu akhirnya tim SAR, elemen masyarakat beserta pihak terkait membantu mengevakuasi paus tersebut untuk kembali ke perairan dalam. Proses berjalan cukup sulit dan lama, dikarenakan kondisi peralatan evakuasi yang masih seadanya. Akhirnya setelah perjuangan hebat, satwa tersebut pun dapat kembali berenang di perairan dalam. Namun, sungguh disayangkan, beberapa jam setelah proses evakuasi tersebut sukses, paus ini kembali terdampar di kawasan Muaragembong, Bekasi. Berbeda dengan kejadian terdampar pertama, kali ini paus tersebut terdampar dalam kondisi sudah mati.
Kondisi yang berbeda terjadi pada satwa satunya lagi, yaitu hiu paus (Rhincodon typus) yang terdampar di kawasan Pantai Pandansimo, Bantul, Yogyakarta. Awalnya satwa ini mulai diketahui terdampar di perairan dangkaloleh nelayan lokal . Namun karena rasa penasaran nelayan lokal tersebut, akhirnya hiu paus tersebut diseret dengan peralatan sederhana ke bibir pantai. Hal ini lah yang menurut saya menyebabkan kondisi satwa ini menurun drastis dan langsung mati. Bahkan perlakuan warga sekitar yang baru melihat satwa tersebut tidak wajar. Banyak warga menginjak-injak badannya, mencongkel matanya, bahkan siap untuk memotong bagian tubuhnya untuk dijual. Namun, beruntung, pihak berwajib langsung mengamankan satwa tersebut sehingga tidak diperlakukan lebih keji lagi.
Seperti dikutip dari laman web National Geographic Indonesia, menurut beberapa peneliti ada empat hal yang menjadi kemungkinan penyebabnya. Pertama, mereka bisa terdampar karena sakit. Kedua, binatang tersebut mengalami disorientasi karena terpengaruh oleh sonar frekuensi rendah yang dipancarkan oleh benda-benda atau peralatan buatan manusia. Ketiga, satwa ini pun dapat mengalami disorientasi karena cuaca yang sangat buruk seperti badai siklon. Yang terakhir, terdapat indikasi bahwa kejadian-kejadian seperti bintik matahari dan siklus bulan dapat juga menyebabkan paus terdampar.
Hal ini menjadi keprihatinan bagi kita semua mengenai masih kurangnya kesadaran masyarakat dalam menjaga dan mellindungi satwaliar. Padahal dilihat dari sisi religi, satwaliar pun merupakan makhluk Tuhan, sama seperti kita manusia. Tak sepantasnya, satwaliar yang walaupun telah mati mendapatkan perlakuan yang tidak wajar. Pihak-pihak terkait pun sebaiknya memberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai pentingnya menjaga lingkungan dan keberadaan satwaliar di alam. Dengan begitu, diharapkan masyarakat dunia, khususnya Indonesia dapat lebih menghargai, menjaga, bahkan melindungi mereka untuk dapat hidup lestari. Merekalah satwaliar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar